Total Tayangan Halaman

Kamis, 26 September 2013

Kasultanan Deli dan Istana Maimoon


Istana Maimoon di Medan, Sumatra
Istana Maimoon berarti “berkah” (bahasa Arab), saat ini menjadi satu-satunya istana Melayu yang masih dapat dinikmati keindahannya. Istana yang terletak di tengah kota Medan ini mulai dipergunakan pada 28 Agustus 1888. Pada revolusi sosial tahun 1946, istana ini dapat selamat berkat penjagaan dari tentara Inggeris. Istana Melayu lainnya seperti Istana Kesultanan Langkat di Tanjung Pura dan Istana Kasultanan Serdang dihancurkan rata dengan tanah. Padahal istana di Tanjung Pura dinilai jauh lebih megah daripada istana Maimoon. Sayang istana Puri, tempat kediaman sultan di jalan Amaliun (sekitar 500 m dari istana Maimoon) ikut dihancurkan. Syukurlah Masjid Al-Mashun yang dibangun tahun 1906, selamat.
Istana Maimoon di masa awal berdirinya
Istana Maimoon terletak di atas lahan seluas 4,5 ha, merupakan perpaduan arsitektur Eropa, Persia dan Melayu, dirancang oleh seorang Kapten Belanda, Theodore van Erp. Warna kuning mendominasi istana yang berjarak 50 m dari Sei Deli ini sebagai warna kebesaran sultan-sultan Melayu. Arsitektur Eropa terlihat dari pilar-pilar besar dan dinding bergaris vertical. Sementara arsitektur Persia terlihat pada kubah dan lengkung perahu terbalik. Arsitektur Melayu ditanam ke bangunan ini melalui teras lantai dua dan tangga terbuat dari kayu (damar laut) serta hiasan atap dengan motif pucuk rebung. Menurut pengamatan saat ini bangunan dan motif hiasan masih orisinal. Suasana Eropa juga terlihat kental pada marmer dan lampu-lampu gantung yang didatangkan dari Italia dan Perancis. Begitu juga sebagian besar perabot buatan Belanda dan Inggeris.
Istana Maimoon saat ini
Istana Puri di Kota Maksum dibumihanguskan
ketika Revolusi Sosial 1946
Istana Maimoon pertama kali dipergunakan oleh Sultan Deli ke IX, Ma’mun AlRasyid Perkasa Alamsyah. Sebelumnya ia memerintah dari istana Labuhan sekitar 20 km dari istana Maimoon ke arah Belawan. Ratusan ribu Gulden (Belanda) habis untuk membangun istana ini yang diperoleh dari sewa tanah untuk perkebunan tembakau. Selain Balairung Seri Utama tempat sultan menerima tamu, maka bangunan istana dua tingkat ini memiliki sayap kiri dan kanan dengan 30 kamar. Total bangunan memiliki luas 2.700 m persegi.

Dahulu istilah Tanah Deli dimulai dari Sei Ular di Deli Serdang sampai ke Sei Wampu di Langkat. Sementara wilayah Kesultanan Deli tidak mencakup semua wilayah yang ada di antara kedua sungai tersebut. Pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatra Timur dipicu oleh dua kondisi. Pertama, kesenjangan ekonomi antara bangsawan istana dan kuli perkebunan tembakau. Kedua, perbedaan sikap sultan jika berhadapan dengan orang Eropa (sama-sama duduk di kursi) dan dengan orang melayu (sultan duduk di kursi dan tamu duduk
Mesjid Raya Al Mashun (lihat posisi pintu gerbang
terhadap Istana Puri di atas)

di lantai). Saat ini Istana Maimoon menjadi ikon kota Medan dan ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan UU 11/2010 dan Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.


Sejarah Kasultanan Deli
Kasultanan Deli didirikan oleh Panglima Goncah Pahlawan gelar Panglima Deli, seorang keturunan India yang meninggalkan Aceh dan berdiam di Sungai Lalang,Percut tahun 1630. Misinya ketika itu adalah untuk menghentikan sisa perlawanan Kerajaan Haru di Sumatra Timur karena bersaing dengan Kerajaan Aceh dan Malaka. Selain mengatur pemerintahan (sebagai bagian dari kerajaan Aceh) ia juga menyebarkan agama Islam dan menikahi Beru Surbakti (adik Raja Sunggal), sehingga keturunan Melayu Deli menjadi paduan India dan Karo.
               Kasultanan Deli melepaskan diri dari Aceh di masa pemerintahan Tuangku Panglima Perunggit (anak Panglima Goncah Pahlawan) berkuasa. Kekuasaannya digantikan oleh anaknya Panglima Paderap. Setelah Panglima Paderap, Kasultanan Deli pecah menjadi Kasultanan Deli dan Kasultanan Serdang. Kasultanan Deli mulai menikmati kemakmuran ketika Sultan Deli VIII, Sultan Mahmud Al Rasyid membuka perkebunan tembakau tahun 1862 bekerjasama dengan Jacobus Nienhuys (Deli Maatschappij) di daerah Mabar sampai Deli Tua. Puncak masa keemasan itu berlangsung di masa Sultan Deli IX (Sultan Ma’moen Al Rasyid, 1873-1924) dan Sultan Deli X (Sultan Amaluddin Al Sani, 1924-1945). Di masa keemasan inilah Istana Maimoon dibangun, saat itu diperkirakan Sultan Deli telah menerima 184.588 gulden atau 3,50 gulden per hektar/tahun dari sewa tanah. Untuk pesiar, Sultan Deli mendapat tambahan 85.000 gulden dari pengusaha perkebunan. Pada tahun 1920 hampir semua tanah di ketiga kasultanan (Deli, Langkat dan Serdang) sudah disewa (dikuasai) oleh pihak asing, dengan pendapatan melebihi sultan-sultan di Hindia Belanda dan Malaya.   Pada waktu itu dikenal istilah tanah jaluran, yaitu tanah yang diolah rakyat menunggu masa tanam tembakau tiba. Masyarakat Melayu benar-benar hidup dalam kecukupan karena ada bantuan kemakmuran dari sultannya, tanpa menyadari saat itu (1930) hanya ada 61.000 orang (14,3%) Melayu dan di pihak lain ada sekitar 294.000 orang kuli.
Imigran Cina ketika tiba di Belawan
sekitar tahun 1900.
Diakui bahwa hal itu membuat masyarakat Melayu manja dan tidak ulet, dibandingkan dengan masyarakat Melayu di Siak.

Koeli Kontrak dan Revolusi Sosial
Kebutuhan tenaga kerja yang besar terutama pada masa pembukaan hutan untuk perkebunan pada 1870-an membuat perusahaan mendatangkan pekerja (koeli kontrak) dari Cina yang dianggap lebih mampu menjamin kualitas tinggi daun tembakau pembalut cerutu. Namun pembukaan lahan yang bergerak cepat untuk perkebunan kopi, karet, teh dan kelapa sawit sesudah tahun 1900 membuat kebutuhan tenaga kerja dari Cina tidak dapat terpenuhi. Mengalirlah tenaga kerja dari Jawa, sehingga pada tahun 1929 terdapat 239.281 koeli Jawa, 25.934 koeli Cina dan 1.019 koeli India. Perkembangan pesat ini ternyata tidak diikuti dengan pemberian upah yang layak untuk pekerja. Upah mereka hanya berkisar 30-55 sen per hari. Mereka tetap menjalankan tugasnya karena takut dengan penal sanction, suatu ketentuan yang melekat pada ordonansi kuli kontrak sehingga dapat menghukum mereka (didenda atau dipenjara) jika meninggalkan pekerjaan.


Koeli tembakau, Cina
Kesenjangan sosial segera melebar terutama antara kuli dan sekitar 11.000 pekerja asing yang hidup mewah dan sombong dibanding kuli yang bergaji 30 sen/hari. Pemberontakan kuli tak dapat dicegah dan pecah pada Maret 1946. Inilah yang dikenal dengan revolusi sosial di Sumatra Timur di mana Gerakan Pemuda (Persatuan Perjuangan) bergerak. Semua yang berhubungan dengan kasultanan dijarah dan dibumihanguskan, bangsawan hingga sultan dibunuh. Salah satu korbannya adalah bangsawan Langkat, Tengku Amir Hamzah (tokoh Pujangga Baru), padahal beliau ketika itu adalah Wakil Pemerintahan RI untuk Kesultanan Langkat. Lebih dari setengah abad setengah abad setelah kematiannya barulah pemerintah RI diangkat sebagai Pahlawan Nasional.  Ancaman terhadap kemerdekaan yang baru diproklamirkan dan kedekatan para raja dengan Belanda menjadi slogan lain pelaku revolusi sosial. Revolusi sosial menghapus kasultanan dan sumber dari perkebunan hilang tanpa kesan.
Koeli tembakau, Jawa

Bahan bacaan lebih lanjut:
  1.  T. Lukman Sinar, “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatra Timur”
  2. Artikel tentang Istana Maimoon di Harian Kompas, Mei 2013;
  3. Sumatera, Revolusi dan Elite Tradisional, Anthony Reid, Komunitas Bambu, 2011;
  4. Nasionalisme dalam Pikiran Orang Medan, Ratna, dkk, Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, 2012;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar