Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 Oktober 2013

Medan, Parijs van Soematra

Kesawan (sekitar 1900-an) salah satu pusat
kegiatan penting di Kota Medan.
Kota Medan berdiri pada 1 April 1909, sejak diakui resmi sebagai sebuah gemeente oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutz di Buitenzorg. Namun walikota pertama Gemeente Medan, Baron Daniel Mackay, baru diangkat pada 1918 dan ia menjabat sampai dengan 1931, atau walikota Medan terlama. Ada dua negara yang dalam waktu singkat membuka kantor konsulatnya di Medan, yaitu: Amerika (1919) dan Kekaisaran Nippon/Jepang (1927). Ini menunjukkan pesatnya kemajuan Kota Medan bukan saja sebagai pusat pemerintahan tetapi juga perdagangan dan perkebunan. Bahkan pada 1924, sebuah pesawat Fokker dengan pilot van der Hoop mendarat di lapangan terbang darurat perkebunan Polonia milik Michelski seorang warganegara Polandia. 


Lap. Terbang Polonia 1930-an
Lokasi ini kemudian resmi menjadi lapangan terbang Polonia pada 1928 ditandai dengan mendaratnya pesawat milik KNILM anak perusahaan KLM. Patut dicatat bahwa sebenarnya pesawat van der Hoop juga pernah mendarat di lapangan pacuan kuda Deli Renverceniging di Tuntungan dan disambut oleh Sultan Deli ketika itu, Sulaiman Syariful Alamsyah. Barulah pada tahun 1978 lapangan terbang ini dikelola secara profesional. Lapangan terbang Polonia ditutup resmi sejak 25 Juli 2013 dan seluruh aktivitasnya dipindahkan ke Kuala Namu International Airport (KNIA) di Kabupaten Deli Serdang sekitar 40 km dari Kota Medan. Medan saat ini menjadi ibukota Propinsi Sumatra Utara, kota ini awalnya adalah rawa-rawa lebih kurang seluas 4.000 hektar. Beberapa sungai melintasi kota Medan menuju ke Selat Malaka, yaitu Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Dahulu jika orang menyebut Medan, selalu dihubungkan dengan Deli atau Medan-Deli. Istilah ini berangsur-angsur hilang dan saat ini sudah tidak populer lagi. 
Kuala Namu International Airport


Post office (kanan) dan Hotel De Boer
(sekarang Darma Deli), sekitar 1926
Buku roman "Merantau ke Deli", tulisan Hamka (1939) berisi pengamatan Hamka atas realitas sosial di Medan ketika itu. Roman ini menandai munculnya perasaan nasionalisme karena menceritakan dilema kawin antar etnis yang dianggap menjadi dasar pembentukan masyarakat majemuk.
Medan Stadhuis (sekarang eks Kantor Walikota
Medan) dan De Javasche Bank (sekarang kantor BI)

Tjong A Fie Mansion dan Komunitas Cina di Medan
Tjong A Fie Mansion, di Jl. A. Yani (Kesawan)
Membicarakan Kota Medan tidak lengkap jika tidak meninjau keberadaan Tjong A Fie Mansion. Gedung ini dibangun pada tahun 1895-1900 oleh Tjong A Fie (TAF) atau juga dikenal sebagai Tjong Fung Nam seorang imigran Tionghoa kelahiran Guangdong (1860) yang datang ke Medan (1875). Bangunan dengan 40 kamar di atas tanah seluas 800 m persegi ini mencampur arsitektur Melayu, Cina dan Eropa. Setelah mendarat di Medan, TAF sukses menjadi seorang pedagang di bidang perkebunan, bank dan perusahaan kereta api. Keberhasilannya di bidang sosial juga terlihat ketika ia ikut berjasa membantu pembangunan Istana Maimoon, gereja, kuil, Masjid Gang Bengkok dan lain-lain. Belanda sendiri mengangkatnya sebagai Kapitan Tionghoa sebuah jabatan yang membuatnya menjadi pemimpin komunitas Cina. Ia meninggal pada 1911 dan upacara pemakamannya mendapat simpati yang luas dari berbagai kalangan ketika itu. TAF mansion saat ini menjadi salah satu tujuan wisata di Kota Medan.
Tjong A Fie, 1906
TAF tiba di Medan dari Kwang Tung tahun 1880 menyusul kakaknya Tjong Jong Hian yang lebih dulu sukses merantau ke Deli. Awalnya ia bekerja sebagai penjaga toko, penagih hutang, pembukuan dan pekerjaan serabutan lainnya, sampai kemudian ia dipercaya menjadi pengawas kuli kontrak Cina karena ia memiliki jiwa pemimpin dan sering diminta menengahi orang-orang cina yang berselisih dengan sesamanya maupun dengan pemerintah. Belanda kemudian memberinya pangkat letnan yang berlanjut menjadi kapiten dan mayor. Sultan Deli ketika itu (Makmoen Al Rasyid) memberikan kepercayaan kepadanya untuk menyediakan atap nipah gudang tembakau. Dari sini lah TAF kemudian terus berkembang antara lain membeli tanah di Sibulan untuk perkebunan karet. Kebutuhan terhadap karet lembaran meningkat seiring mulai meningkatnya industri otomotif. Perkebunan karet ini membuat TAF menjadi jutawan karena memperoleh keuntungan berlimpah. 

Lapangan Merdeka dan Gedung Bersejarah di Medan
Lapangan Merdeka memiliki nilai sejarah bagi Kota Medan. Di masa penjajahan Belanda lapangan ini bernama Waterlooplein dan diubah menjadi Fuku Raido ketika Jepang masuk ke Indonesia. Barulah pada 3 Oktober 1945 dalam rapat umum rakyat lapangan diberika nama Lapangan Merdeka dan di sinilah pada 6 Oktober 1945 Mr Teuku Moehammad Hassan membacakan Teks Proklamasi. Lapangan Merdeka dikelilingi oleh banyak bangunan lama yang mencerminkan sejarah perjalanan Kota Medan seperti Stasiun Kereta Api, Kantor Pos, Balai Kota, Gedung London Sumatra, Titi Gantung dan Kawasan Kesawan. 
Gedung Kerapatan, office of Sultan Deli (1915)

Kota Medan memiliki arti sejarah penting karena dikembangkan di masa Kesultanan Deli dan penjajahan Belanda. Banyak bangunan bersejarah di Medan seperti Gedung Kereta Api  (jalan Timor), Toko Seng Hap (Kesawan), Vila Kembar (jalan Sudirman), Deli Book Store, Gedung London-Sumatra dan sekitar 800 bangunan lainnya. Beberapa di antaranya seperti Gedung Mega Eltra dan Gedung Kerapatan bahkan telah dirubuhkan dan sebagian lagi tidak terawat atau telah dikuasai oleh pihak swasta seperti Gedung eks Balaikota Medan yang sangat monumental.   

Bahan bacaan lebih lanjut:
  1. Avan, Alex. 2012. Parijs van Soematra. Medan: Rainmaker Publishing.
  2. Hamdani, Nasrul. 2013. Komunitas Cina di Medan. Jakarta: LIPI Press.




1 komentar: